Laman

Selasa, 08 Oktober 2013

Impian Indonesia Wujudkan Negara Ramah Lansia

Jakarta, Kementerian Kesehatan RI ingin Indonesia dapat menjadi negara yang 'ramah lansia'. Artinya masyarakat usia lanjut dapat memiliki kualitas hidup yang baik, terhindar dari ancaman berbagai penyakit menular ataupun tidak menular, serta terhindar pula dari gangguan mental dan emosional. 

Hal ini dilakukan mengingat beberapa dekade lagi, Indonesia akan dipenuhi penduduk berusia lanjut. Pada 2010, jumlah penduduk lansia di Indonesia adalah 24 juta jiwa. Kemkes RI memperkirakan angka tersebut akan terus bertambah, antara lain menjadi 28,8 juta jiwa di tahun 2020 dan 80 juta jiwa pada 2050.

"Pada warga usia 55-74 tahun, peluang mengalami gangguan mental dan emosional itu 44 persen. Kalau orang yang punya penyakit penyerta, misalnya diabetes, hipertensi, dan lain-lain, peluangnya tentu lebih besar. Gangguan yang paling besar potensinya depresi dan demensia (pikun). Saat ini kaum lansia yang menderita sakit ini kurang lebih 1 juta jiwa," jelas dr Martina Wiwik Setiawan, Sp.KJ, Ketua Asosiasi Psikogeriatri Indonesia.

Hal ini ia ungkapkan dalam seminar media tentang Psikogeriatri dalam rangka meperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Acara ini digelar di ruang Maharmardjono lantai 3, Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jl HR Rasuna Said Blok X 5 Kav 4-9, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (8/10/2013).

Demi mengantisipasi 'banjir lansia' ini, Kemenkes RI ingin mewujudkan Indonesia menjadi negara yang ramah lansia. Tindakan yang dilakukan salah satunya adalah melatih tenaga-tenaga medik di 20 puskesmas di Jakarta. dr Martina mengatakan pihak Kemkes RI bekerja sama dengan orang-orang yang ahli di bidang kesehatan mental. Para tenaga medis tersebut, dari perawat hingga dokter, dilatih untuk dapat mendeteksi gangguan mental sejak awal kedatangan pasien.

"Layanan kesehatan untuk lansia itu idealnya dalam bentuk tim, namanya tim geriatrik terpadu. Saat ini yang sudah memulai baru rumah sakit-rumah sakit di Jakarta, Surabaya, Semarang, Bali, dan Medan," jelas dr Martina.

"Sebenarnya tidak perlu kapten dalam tim terpadu itu, yang penting harmonisasi semua dokter di dalam tim. Dokter-dokternya itu ahli geriatri, ahli rehabilitasi, psikiater, ahli gizi. Lebih bagus lagi dilengkapi dengan dokter spesialis neurologi, gigi, darah, dan lain-lain. Saat ini yang sudah mulai menjalankan RSCM, RS Islam Yarsi Cempaka Putih, dan Duren Sawit," sambungnya.

Sayangnya, usaha ini tampaknya masih jauh dari kenyataan. Terutama dalam hal ketersediaan sumber daya manusia, khususnya tenaga medis dan dokter spesialisasi kejiwan. dr Tun Kurniasih Bastaman, dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengungkapkan hal tersebut dalam kesempatan yang sama.

"Jumlah dokter spesialis kejiwaan sekarang masih kurang, kurang lebih cuma 250 orang. Itu pun sebarannya tidak merata, kebanyakan di kota-kota besar. Kalau tidak salah, 30 persen ada di Jakarta dan sekitarnya," papar dr Tun.

Di Indonesia, lanjutnya, hanya ada 9 pusat pendidikan kejiwaan. Se;lain itu setiap tahun hanya bertambah 30 psikiater. "Kayanya sih butuh 1.000 tahun lagi untuk mencapai perbandingan jumlah dokter yang ideal," ucap dr Tun sambil tertawa.

dr Tun menekankan kepada betapa perlunya perbaikan sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Setidaknya selama menunggu jumlah tenaga medis dan dokter kejiwaan semakin bertambah di Indonesia. Lebih penting lagi adalah melibatkan masyarakat untuk bekerja sama menjaga kesehatan jiwa para orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar