Laman

Tampilkan postingan dengan label Pakar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pakar. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 November 2013

Pakar hukum minta pemerintah kaji wacana ratifikasi FCTC

ilustrasi Seorang buruh, memanen tembakau, di Desa Larangan Tokol, Pamekasan, Jatim, Selasa (20/8). Harga daun tembakau yang dibeli secara borongan turun sekitar 60 persen dibanding tahun lalu, akibat rendahnya kualitas pada musim tahun ini. (ANTARA FOTO/Saiful Bahri) ()

Ratifikasi FCTC harus dikaji secara mendalam, jangan sampai merugikan petani tembakau,"
Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum tata negara Margarito meminta pemerintah untuk mengkaji wacana ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) secara mendalam.

"Ratifikasi FCTC harus dikaji secara mendalam, jangan sampai merugikan petani tembakau," katanya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu.

Margarito mengatakan rencana pemerintah sebelum memutuskan meneken ratifikasi harus benar-benar menghitung aspek-aspek yang melemahkan, merugikan petani dan pengusaha nasional.

Dia juga mempertanyakan pernyataan Menko Kesra Agung Laksono yang menyebut bahwa Indonesia tengah menyiapkan rencana aksesi FCTC, sementara menurut dia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum memberi sinyal.

"Hal tersebut dapat membuat masyarakat menilai pemerintah kurang kompak," katanya.

Dia juga berharap rencana ratifikasi tersebut tidak diwarnai oleh adanya intervensi asing yang menginginkan industri rokok, terutama industri rokok kretek gulung tikar.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Nurtianto Wisnu meminta pemerintah untuk mendengarkan berbagai masukan dari berbagai kementerian seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan tentang dampak buruk jika FCTC diterapkan.

Dia menilai sikap menolak FCTC bisa menjadi salah satu bahan kajian.

"Negara lain yang meratifikasi FCTC tidak punya petani cengkih, tidak ada buruh, beda dengan Indonesia yang memiliki 20 juta petani cengkih," katanya.

Sementara itu, Menko Kesra Agung Laksono mengatakan bahwa Indonesia satu-satunya negara di ASEAN yang belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control.

Padahal, berdasarkan data WHO sampai Juli 2013, sejumlah 177 negara telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC.

Untuk itu, pemerintah Indonesia menggelar rapat koordinasi tingkat menteri terkait dengan upaya aksesi FCTC.(*)


View the original article here

Jumat, 08 November 2013

Pakar: anak TKI harus mendapatkan pendidikan holistik

UNJ (unj.ac.id)

Memang idealnya anak usia 0-15 tahun harus tetap dalam pengasuhan keluarga bersama ibu dan ayahnya, agar anak dapat tumbuh kembang secara sempurna. Namun alasan tuntutan ekonomi, banyak ibu rumah tangga menjadi TKI di luar negeri terpaksa menitipkan
Jakarta (ANTARA News) - Pekara pendidikan anak usia dini (PAUD) Univeristas Negeri Jakarta (UNJ) Prof Dr Mulyono Abdurrahman mengatakan, anak usia 4-15 tahun yang ditinggal ibunya bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, harus mendapatkan pendidikan secara holistik integratif, agar anak dapat tumbuh kembang fisik dan kejiwaan sempurna.

Prof Dr Mulyono yang juga Asisten Direktur Program Pasca Sarjana (PPS) UNJ bidang akademik tersebut didampingi mahsiswa PPS UNJ sebagai peneliti PAUD Tiara Atari dan Yustia mengemukakan hal itu di Jakarta, Jumat sore, terkait rencana Seminar Internasional  "Menggagas Pendidikan Holistik Integratif bagi Anak TKI".

Seminar  tentang pendidikan holistik bagi anak TKI yang diadakan PPS UNJ bekerjasama BKKBN itu akan berlangsung di Kampus UNJ, Jakarta, Sabtu (9/11) dan menghadirkan pembicara antara lain Menteri PP dan PA Linda Amalia Sari Gumelar, Mantan Wapres Jusuf Kalla, Kepala BKKBN Prof dr Fasli Jalal, Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat, Bupati Karawang H Ade Swara, dan praktisi pendidikan dari UNJ dan Singapura (Tang Hui Nee).

Menurut Mulyono, hasil penelitian mahsiswa PPS UNJ (2009-2011) di Kabupaten Karawang, Jabar, ditemukan banyak anak TKI yang diasuh bukan ibunya, mengalami kelambatan dalam proses pendidikan, seperti sampai kelas V SD usia (10-11 tahun) belum bisa membaca huruf latin, dan sikap mental anak cenderung keras.

Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan pendidikan berbasis masyarakat secara holistik guna membantu perkembangan jiwa anak TKI, dengan melibatkan ibu-ibu anggota PKK di desa-desa Kabupaten Karawang serta anggota LSM sosail di wilayah tersebut, sehingga mereka dapat membantu pendidikan anak TKI tersebut.

Mulyono mengusulkan, agar intansi terkait seperi Dinas Pendidikan tingkat provinsi, kabupaten/kota  membantu pendidikan anak TKI yang ditinggal ibunya bekerja, serta BKKBN yang memberikan pembinaan perabn kaum ibu dan mewujudkan bina keluarga bahagia dan sejahtera.

"Memang idealnya anak usia 0-15 tahun harus tetap dalam pengasuhan keluarga bersama ibu dan ayahnya, agar anak dapat tumbuh kembang secara sempurna. Namun alasan tuntutan ekonomi, banyak ibu rumah tangga menjadi TKI di luar negeri terpaksa menitipkan anaknya diasuh anggota keluarga lain," katanya.

Mahasiswa program S-3 PPS UNJ Tiara Astari mengatakan, untuk mewujudkan pendidikan yang holistik integratif bagi anak TKI, maka setiap desa diharapkan memiliki sarana PAUD untuk mendidik anak usia 4-6 tahun, serta bantuan tenaga pendidikan dari unsur masyarakat PKK dan LSM setempat untuk anak siswa usia SD dan SMP.

Tiara menyatakan, jika ibu terpaksa akan menjadi TKI, maka anaknya minimal  sudah berusia 8 tahun sehingga anak telah memiliki perkembangan kejiawaan dan pendidikan yang cukup.

Tiara mengusulkan agar pendidikan anak berbasis masyarakat seperti yang telah diterapkan di sejumlah desa di Kabupaten Karawan, Jabar dapat menjadi contoh bagi daerah lain sebagai pengerim TKI, seperti Jateng, Jatim, NTB, NTT dan  Sulsel.(*)


View the original article here