Panorama dari atas Lembah Baliem, Papua, tak ubahnya hutan lebat di Brazil sana. Sungai Baliem pun meliuk bagai ular, serupa dengan Sungai Amazon yang membelah Amerika Selatan.
23 Juni 1938, Richard Archbold termenung dalam pesawatnya. Baru kali ini ia takjub dengan lembah tak terjamah yang membentang luas. Tak hentinya ilmuwan asal Amerika ini berdecak kagum melihat lembah berpagar gunung, dengan sungai yang meliuk bagai ular di tengahnya. Tak butuh waktu lama hingga Archbold tahu, lembah yang menghipnotisnya adalah Baliem.
10 Agustus 2012, saya berada di posisi yang sama dengannya. Pesawat perintis Susi Air lepas landas dari Bandara Wamena tepat pukul 12.00 WIT. Tak sampai setengah jam, saya dilanda perasaan terhipnosis yang sama. Tak bisa memalingkan wajah dari jendela. Tak berkedip, tak pula menutup kuping. Padahal suara bising pesawat itu sangat memekakkan telinga.
Hampir seminggu saya menjelajah Lembah Baliem. Menyusuri lanskap liar berpagar tebing, mendatangi berbagai destinasi unik, menyelami kekayaan budaya Suku Dani. Tapi, baru kali ini saya kagum luar biasa. Wajah Lembah Baliem yang sesungguhnya baru saya temukan saat pulang.
Sungai Baliem yang meliuk di tengah lembah tak ubahnya Sungai Amazon di Amerika Selatan sana. Hutan tropis tak mengizinkan saya melihat sedikit pun lahan gundul. Pegunungan di sekitarnya membawa tanah dan bebatuan vulkanis yang sifatnya menyuburkan.
Sungai Amazon membelah tiga negara yakni Brazil, Colombia, dan Peru. Sedangkan Sungai Baliem membelah wilayah tengah Papua, bermuara di utara Pegunungan Trikora. Air sungai yang dingin ini melaju makin rendah, melewati sawah dan ladang, hingga pecah di ketinggian 1.500 mdpl.
Dari situ, air dari Sungai Baliem menyatu dengan danau berlumpur kecoklatan. Namun arusnya terus melaju turun, hingga nantinya menghilir ke Laut Arafura.
Festival Budaya Lembah Baliem 2012 yang saya liput beberapa hari sebelumnya mengenalkan tentang suku Dani. Ini adalah suku dengan budaya ala zaman batu. Terkungkung lanskap pegunungan, mereka terisolasi secara alami. Di lereng Pegunungan Trikora, mereka bercocok tanam dan beternak hewan. Tanah gembur pun ditanami umbi-umbian, wortel, jagung dan pisang.
Saya masih termenung dalam pesawat berkapasitas 8 orang itu. Mungkin lebih lama dari Archbold, sang ilmuwan asal Amerika itu. Walaupun bising, saya beruntung naik maskapai Susi Air ini. Karena ukuran yang kecil, pesawatnya tak terbang di atas awan. Kami terbang stabil di bawah gumpalan kapas raksasa itu, sesekali menembusnya.
Tak terasa, satu jam perjalanan sudah hampir usai. Bandara Sentani di Jayapura terlihat apik dari atas sini, landasannya langsung "mentok" ke Danau Sentani. Walaupun lanskap sudah berganti, dalam benak saya, potret Lembah Baliem tak akan terganti.
23 Juni 1938, Richard Archbold termenung dalam pesawatnya. Baru kali ini ia takjub dengan lembah tak terjamah yang membentang luas. Tak hentinya ilmuwan asal Amerika ini berdecak kagum melihat lembah berpagar gunung, dengan sungai yang meliuk bagai ular di tengahnya. Tak butuh waktu lama hingga Archbold tahu, lembah yang menghipnotisnya adalah Baliem.
10 Agustus 2012, saya berada di posisi yang sama dengannya. Pesawat perintis Susi Air lepas landas dari Bandara Wamena tepat pukul 12.00 WIT. Tak sampai setengah jam, saya dilanda perasaan terhipnosis yang sama. Tak bisa memalingkan wajah dari jendela. Tak berkedip, tak pula menutup kuping. Padahal suara bising pesawat itu sangat memekakkan telinga.
Hampir seminggu saya menjelajah Lembah Baliem. Menyusuri lanskap liar berpagar tebing, mendatangi berbagai destinasi unik, menyelami kekayaan budaya Suku Dani. Tapi, baru kali ini saya kagum luar biasa. Wajah Lembah Baliem yang sesungguhnya baru saya temukan saat pulang.
Sungai Baliem yang meliuk di tengah lembah tak ubahnya Sungai Amazon di Amerika Selatan sana. Hutan tropis tak mengizinkan saya melihat sedikit pun lahan gundul. Pegunungan di sekitarnya membawa tanah dan bebatuan vulkanis yang sifatnya menyuburkan.
Sungai Amazon membelah tiga negara yakni Brazil, Colombia, dan Peru. Sedangkan Sungai Baliem membelah wilayah tengah Papua, bermuara di utara Pegunungan Trikora. Air sungai yang dingin ini melaju makin rendah, melewati sawah dan ladang, hingga pecah di ketinggian 1.500 mdpl.
Dari situ, air dari Sungai Baliem menyatu dengan danau berlumpur kecoklatan. Namun arusnya terus melaju turun, hingga nantinya menghilir ke Laut Arafura.
Festival Budaya Lembah Baliem 2012 yang saya liput beberapa hari sebelumnya mengenalkan tentang suku Dani. Ini adalah suku dengan budaya ala zaman batu. Terkungkung lanskap pegunungan, mereka terisolasi secara alami. Di lereng Pegunungan Trikora, mereka bercocok tanam dan beternak hewan. Tanah gembur pun ditanami umbi-umbian, wortel, jagung dan pisang.
Saya masih termenung dalam pesawat berkapasitas 8 orang itu. Mungkin lebih lama dari Archbold, sang ilmuwan asal Amerika itu. Walaupun bising, saya beruntung naik maskapai Susi Air ini. Karena ukuran yang kecil, pesawatnya tak terbang di atas awan. Kami terbang stabil di bawah gumpalan kapas raksasa itu, sesekali menembusnya.
Tak terasa, satu jam perjalanan sudah hampir usai. Bandara Sentani di Jayapura terlihat apik dari atas sini, landasannya langsung "mentok" ke Danau Sentani. Walaupun lanskap sudah berganti, dalam benak saya, potret Lembah Baliem tak akan terganti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar